Rabu, 23 Maret 2011

DIALOG ULAMA WAHHABI VS ANAK BAU KENCUR

Pada bulan Desember 2009, organisasi al-Irsyad Jember mengadakan pelatihan akidah Syi'ah selama lima hari. Di antara pembicaranya adalah seorang tokoh Wahhabi dari Malang, Agus Hasan Bashori Lc, M.Ag, yang dikenal dengan Ustadz Abu Hamzah. Ia dikenal dengan Ustadz Salafi yang memiliki jam terbang tinggi. Beberapa perguruan tinggi salafi, membanggakan Abu Hamzah karena menjadi salah satu dosen tamu istimewanya.

Ternyata dalam pelatihan yang semula difokuskan pada persoalan ajaran Syi'ah, Abu Hamzah juga memberikan materi tentang bid'ah, dengan mengkaji kitab Ushul al-Bida', karangan Ali Hasan al-Halabi, ulama Wahhabi dari Yordania yang murid Syaikh Nashir al-Albani.

Dalam materi yang disampaikannya, Abu Hamzah berkata begini, "Bid'ah dalam beribadah adalah membuat cara-cara baru dalam ibadah yang belum pernah diajarkan pada masa Rasulullah saw, seperti membaca sholawat yang disusun oleh kalangan ulama shufi, berdoa dengan doa-doa yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw dan sahabat dan berdzikir secara keras dan bersama-sama sehabis shalat berjamaah."
Mendengar pernyataan ini, seorang peserta yang masih belum selesai S1 di STAIN Jember bertanya kepada Abu Hamzah, "Kalau bapak mendefinisikan bid'ah seperti itu, kami punya tiga pertanyaan berkaitan dengan konsep bid'ah yang Anda sampaikan.

Pertama, bagaimana dengan redaksi shalawat yang disusun oleh Sayyidina Ali, Ibnu Mas'ud, Imam al-Syafi'i dan lain-lain, yang jelas-jelas tidak ada contohnya dalam hadits Rasulullah saw. Beranikah Anda mengatakan bahwa dengan sholawat yang mereka susun, berarti Sayyidina Ali, Ibnu Mas'ud, Imam al-Syafi'i itu termasuk ahli bid'ah?

Kedua, kalau Anda menganggap doa-doa yang disusun oleh para ulama termasuk bid'ah, bagaimana Anda menanggapi doa yang disusun oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang dibaca oleh beliau selama 40 tahun dalam sujud ketika shalat. Beliau membaca doa berikut itu:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ
"Ya Allah, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi'i".
Doa ini dibaca oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam setiap sujud dalam shalatnya selama empat puluh tahun. Pertanyaan kami, beranikah Anda menganggap Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ahli bid'ah yang akan masuk neraka?

Ketiga, kalau Anda menganggap berdzikir secara berjama'ah itu bid'ah, bagaimana Anda menanggapi Ibnu Taimiyah yang melakukan dzikir jama'ah setiap habis sholat shubuh, lalu dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah sampai Matahari naik ke atas, dan ia selalu menatapkan matanya ke langit. Padahal apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah ini tidak ada contohnya dari Rasulullah saw. Pertanyaan kami, beranikah Anda menganggap Ibnu Taimiyah termasuk ahli bid'ah dan ahli neraka?"

Mendengar pertanyaan ini, akhirnya Abu Hamzah diam seribu bahasa, tidak bisa menjawab. Dan akhirnya dia membicarakan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan. Dan begitulah, Ustadz Abu Hamzah yang pernah berguru kepada banyak Syaikh Wahhabi di Saudi Arabia itu, dikalahkan oleh seorang anak bau kencur yang belum selesai meraih gelar S1 di STAIN Jember. Wallahu a'lam.

Jenggot, Celana Cingkrang dan Cadar dalam Perspektif Syariah

Pada suatu ketika seorang sahabat mengunjungi Nabi SAW dengan memakai baju yang jelek.” Rasul SAW lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki harta? Ia jawab, “Iya”. Rasul SAW bertanya lagi, “Dari mana harta itu kau peroleh?” Ia menjawab, “Allah SWT telah memberikanku (harta berupa) unta, kambing, kuda dan budak” Rasul SAW kemudian bersabda, “Jika Allah SWT memberimu harta, maka tampakkanlah bekas (hasil/manfaat) nikmat dan kemurahan Allah SWT yang diberikan kepadamu itu” (HR. Abu Dawud)

Suatu ketika rasul bersabda kepada para sahabatnya, ”Tidak akan masuk surga seorang yang di hatinya terdapat sifat riya”. Kemudian ada yang bertanya tentang seorang yang memakai pakaian yang indah, sandal yang mewah dan surban yang mahal. Apakah orang itu telah riya karena berpenampilan melebihi yang lainnya. Rasul SAW kemudian menjawab, ”Belum tentu, karena Allah SWT itu indah dan senang pada keindahan. Yang dimaksud riya adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. (HR. Bukhari Muslim)

Beberapa hadits ini menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW sangat mendambakan umatnya untuk tampil dan terlihat indah, rapi dan bersih. Memperhatikan penampilan sehingga tidak ada halangan banginya untuk dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat. Yang barakibat terjaganya citra agama Islam sebagai agama yang bersih dan anggun.

Dalam kehidupan sehari-hari, anjuran tersebut bersifat fleksibel dan relatif. Disesuaikan dengan kondisi dan situasi serta profesi sehari-hari. Tidak terpaku pada satu model saja asalkan tidak dimaksudkan untuk sekedar bergaya, pamer kekayaan atau menyombongkan diri. (Etika Bergaul di tengah Gelombang Perubahan, kajian kitab kuning, 25-26) Jika di dalam teks-teks keagamaan secara tidak langsung ditemukan larangan atau anjuran untuk berhias dengan model tertentu, maka hal itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Tidak hanya terpaku kepada pengertian secara harfiyah saja.

Intinya adalah bagaimana seorang muslim berhias dan memperindah dirinya dengan tetap mendahulukan kesopanan, menutup aurat dan kerapian serta tidak berlebihan dan urakan. Dan yang terpenting adalah tidak untuk menimbulkan rangsangan atau menggoda orang lain. Inilah makna dari firman Allah SWT:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى (الأحزاب، 33)
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. Al-Ahzab, 33)



1. Memelihara Jenggot

Nabi Muhammad SAW bersabda:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَه صحيح البخاري، 5442)

Dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tampillah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn Umar melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun memotong bagian yang melebihi genggamannya” (Shahih al-Bukhari, 5442)

Walaupun hadits ini menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah itu tidak menunjukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu hanya berlaku manakala perintahnya tegas. 

Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari menyatakan mencukur jenggot adalah makruh khususnya jenggot yang tumbuh pertama kali. Karena jenggot itu dapat menambah ketampanan dan membuat wajah menjadi rupawan. (Asnal Mathalib, juz I hal 551)

Dari alasan ini sangat jelas bahwa alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu adalah sunnah atau bahkan mubah.

Jika dibaca secara utuh, terlihat jelas bahwa hadits tersebut berbicara dalam konteks perintah untuk tampil berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan, “Perintah itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur jenggot itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu, bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir” (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz IV hal 162)

Atas dasar pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.

Adapun pendapat yang mengarahkan perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat. Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah pendapat yang lemah. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551). Imam Ibn Qasim al-abbadi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot menyalahi pendapat yang dipegangi (mu’tamad). (Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz IX hal 375-376)

2.Memakai Celana Cingkrang

Asal mula penggunaan celana cingkrang seperti yang dipakai oleh sebagian komunitas muslim adalah untuk menghindari larangan Nabi Muhammad SAW. Karena dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ (صحيح البخاري، 3392)

Dari Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya (memperdulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya, sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak melakukannya karena sombong”(Shahih a-l-Bukhari, 3392)

Hadits ini harus dilihat dari konteksnya, begitu pula dengan urutan dari sabda Nabi SAW tersebut. Dengan jelas Nabi SAW menyebutkan kata karena sombong bagi orang-orang yang memanjangkan bajunya. Hal ini berarti bahwa larangan itu bukan semata-mata pada model pakaian yang memanjang hingga menyentuh ke tanah, tetapi sangat terkait dengan sifat sombong yang mengiringinya.

Sifat inilah yang menjadi alasan utama dari pelarangan tersebut. Dan sudah maklum apapun model baju yang dikenakan bisa menjadi haram manakala disertai sifat sombong, merendahkan orang lain yang tidak memiliki baju serupa. Al-Syaukani menjelaskan, ”Yang menjadi acuan adalah sifat sombong itu sendiri. Memanjangkan pakaian tanpa disertai rasa sombong tidak masuk pada ancaman ini.” Imam al-Buwaithi mengatakan dalam mukhtasharnya yang ia kutip dari Imam al-Syafi’i, ”Tidak boleh memanjangkan kain dalam shalat maupun di luar shalat bagi orang-orang yang sombong. Dan bagi orang yang tidak sombong maka ada keringanan berdasarkan sabda Nabi kepada Abu Bakar ra”(Nailul Awthar, juz II hal 112) Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat berkata, ”Memanjangkan pakaian dalam shalat hukumnya boleh jika tidak disertai rasa sombong” (Kasysyaf al-Qina`, juz I hal 276)

Oleh karena itu, memanjangkan baju bagi orang yang tidak sombong tidak dilarang. Boleh-boleh saja sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Abu Bakar RA. Sedangkan hukum haram hanya berlaku bagi mereka mengenakan busana dengan tujuan kesombongan, walaupun tanpa memanjangkan kain. Karena realitas saat ini kesombongan itu tidak hanya bisa terjadi kepada mereka yang mamakai baju panjang menjuntai, tetapi juga mereka yang memakai gaun mini. Mereka merasa apa yang digunakan adalah gaun yang berkelas, sehingga meremehkan orang lain. Dan inilah hakikat pelarangan tersebut. 

Dari sisi lain, mengartikan hadits ini hanya dengan celana cingkrang adalah tidak tepat karena nabi menyebut hadits itu dengan kata pakaian (tsaub), sementara pakaian tidak hanya celana tetapi juga baju, surban, kerudung dan lainnya. Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa keharaman itu berlaku umum kepada semua jenis pakaian. Ukurannya adalah ketika baju itu dibuat dan dikenakan melebihi ukuran biasa. Dalam Syari’at, demikian ini disebut isbal. Isbal adalah menjuntaikan pakaian hingga ke bawah. Memanjangkan lengan tangan gamis adalah perbuatan yang dilarang karena termasuk isbal yang dilarang dalam hadits. Bahkan Qadhi Iyadh yang menyatakan ”Makruh hukumnya menggunakan semua pakaian yang ukurannya melebihi ukuran yang biasa, baik luas atau panjangnya” (Nailul Awthar, juz II hal 114)

Dari sinilah, maka larangan isbal seharusnya tidak hanya berlaku untuk celana, tetapi semua jenis busana jika di dalam mengenakannya disertai dengan rasa sombong, itu diharamkan. Begitu pula dengan memanjangkan kerudung adalah hal terlarang jika disertai sikap sombong, apalagi merasa dirinya paling beragama. Dengan demikian pakaian yang sudah biasa dikenakan kebanyakan umat islam saat ini baik berupa sarung maupun celana (bagi laki-laki) sampai di bawah mata kaki namun tidak menjuntai ke tanah tidak termasuk yang dilarang oleh agama berdasarkan beberapa penjelasan para ulama di atas.

3. Memakai Cadar

Firman Allah SWT:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ (النور، 31)

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (QS. Al-Nur, 31)

Ayat ini menjelaskan perintah Allah SWT kepada perempuan-perempuan muslim untuk merendahkan pandangannya serta menjaga kemaluannya, lebih umum lagi adalah seluruh organ reproduksinya. Terkait dengan pembahasan aurat, ayat ini menegaskan larangan untuk menampakkan seluruh anggota badan perempuan kecuali yang biasa nampak darinya (ma dhahara minha). Inilah yang kemudian menjadi batasan aurat bagi perempuan,

Yang menjadi perdebatan kemudian, karena ayat ini tidak menyebutkan secara detail anggota badan yang dimaksud. Itulah sebabnya para ulama berbeda pendapat tentang apakah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya itu. Mayoritas ulama (jumhur) menyatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan kedua tangan. Keduanya adalah sesuatu yang biasa nampak ketika seseorang melakukan interaksi sosial. Wajah adalah penanda pertama untuk mengenali seseorang. Begitu pula dengan tangan yang digunakan untuk berbagai keperluan.

Di dalam tafsir Ibn Katsir dikutip keterangan dari al-A’masy Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya” ia berkata, “Wajah dan kedua tangan dan cincinnya”. Al-Marghinani dari kalangan Hanafiyah mengatakan, “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurat kecuali wajah dan kedua tangannya” (al-Hidayah, juz I hal 158).

Dalam madzhab Malik, Syaikh Ibn Khallaf al-Baji memberikan keterangan, “Terkadang seorang Istri menemani suaminya yang makan bersama laki-laki lain. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki- tersebut boleh melihat wajah dan kedua tangan wanita tersebut . Sebab dua anggota tubuh tersebut adalah yang biasa terlihat ketika makan. (Al-Muntaqa syarh al-Muwaththa’ juz IV hal 252 )

Ibn Hajar dari kalangan Syafi’iyyah menukil pendapat dari Qadhi Iyadh bahwa terjadi ijma’ bahwa seorang perempuan tidak wajib menutup wajahnya. Karena menutup wajah hukumnya sunnah dan, oleh karena itu, laki-laki yang berada di depannya juga disunnahkan memalingkan pandangan karena itulah perintah al-Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz VII hal 193)

Dari sekian pendapat ini, tidak ada satupun yang menegaskan kewajiban memakai cadar, karena memang wajah itu bukan termasuk aurat yang wajib ditutupi. Pemakaian cadar yang berlaku di masyarakat Arab dahulu adalah tradisi bagi masyarakat tertentu. Ada pendapat dari golongan Hanafiyyah yang mewajibkan cadar karena wajah termasuk anggota yang wajib ditutup. Namun penerapan dari pendapat ini juga harus melihat konteksnya. Karena bisa jadi pemakaian cadar itu justru menyebabkan pemakainya terisolir manakala hal tersebut tidak bisa diterima oleh masyarakat setempat, Apalagi hanya karena persoalan ini akan menyebabkan perpecahan antara umat Islam karena disertai tudingan salah bagi mereka yang tidak memakai cadar.

Dengan demikian, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang, dan memakai cadar tidak bisa dikategorikan sebagai identitas Islami. Pertama, karena dari segi dalil, hal tersebut masih terjadi perdebatan ulama dari dulu sampai sekarang (khilafiyah). Bahkan terhitung lemah dalilnya bagi yang mewajibkannya. Kedua, di samping lemah dalil, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang dan memakai cadar tidak ada signifikansi dan pengaruhnya dalam realitas hidup kekinian. Ketiga, sebagian yang dianggap identitas Islami itu pada kenyataannya juga digunakan oleh tokoh-tokoh non-muslim yang memusuhi Islam. Misalnya Fidel Castro, perdana menteri Cuba yang komunis, Calvin (pembaharu Perancis yang juga nasrani), Karl Mark (bapaknya para komunis) dan lain sebagainya. Semuanya mengggunakan jenggot. Foto-fotonya bisa dilihat di berbagai buku ensiklopedi.

Semakin sulit kita menjelaskan ketika ada pertanyaan: “Katanya jenggot itu identitas Islami. Tetapi mengapa orang non-muslim yang memusuhi Islam juga menggunakannya?”. *** 

Selasa, 15 Maret 2011

Haul Ayahanda Alhabib Hasan Bin Ja'far Assegaft ~ Nurul Musthofa

Teks Qasidah Yaa Hanana


ظَهَرَ الدِّينُ المُؤَيَّد

ظَهَرَ الدِّينُ المُؤَيَّد   بِظُهُورِالنَّبِى اَحمَد

يَا هَنَانَــــــــا بِمُحَمَّد  ذَلِكَ الفَضلُ مِنَ الله

يَا هَنَانَا

خُصَّ بِالسَّبعِ المَثَانِى   وَحَوى لُطفَ المَعَأنِى

مَالَهُ فِى الخَلقِ ثَانِى   وَعَلَيهِ اَنزَلَ الله

يَا هَنَانَا

صَلُّوا عَلى خَيرِ الاَنَام   المُصطَفَى بَدرِالتَّمَام

صَلُّوا عَلَيهِ وَسَلِّمُوا   يَشفَع لَنَأ يَومَ الزِّحَام

يَا هَنَانَا

Jumat, 11 Maret 2011

ASAL USUL MAJLIS NURUL MUSTHOFA

PERANAN HABAIB (‘ALAWIYIN) DI INDONESIA
SEJARAH SINGKAT TENTANG PERANAN ALAWIYIN DI INDONESIA
KEPADAMU KU TITIPKAN AL-QUR’AN DAN KETURUNANKU….
(Al-Hadith Rasullah s.a.w. Dirawikan oleh Imam Ahmad Ibn Hambal)
A. PENDAHULUAN
Pada zaman kekhalifahan Bani Abbas (750-1258 M) berkembanglah ilmu pengetahuan tentang Islam yang bercabang-cabang disamping kenyataan itu penghidupan lapisan atas menyimpang dari ajaran agama Islam. Dibentuknya dynasti Bani Abbas yang turun-temurun mewariskan kekhalifahan. Istilah “muslim bila kaif” telah menjadi lazim. Hidupnya keturunan Sayidatina Fatmah Al-Zahra dicurigai, tiada bebas dan senantiasa terancam, ini oleh karena pengaruhnya anak cucu dari Al-Hasan dan Al-Huseyn r.a. atas rakyat sangat besar dan diseganinya. Keinginan kebanyakan orang Muslim adalah seorang keturunan Nabi yang seharusnya memegang kekhalifahan. Banyak yang dipenjarakan dan dibunuhnya oleh karenanya banyak pula yang pindah dan menjalankan diri dan pusat Bani Abbas di Bahdad,
AHMAD BIN ISA r.a.
Dalam keadaan sebagai diuraikan di atas, yang pasti akan dikutuk Allah s.w.t. dan dengan hendak memelihara keturunannya dari kesesatan, mengulangilah AHMAD BIN ISA BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN JA’FAR BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN AL-HUSEYN r.a. duanya sayidina Ibrahim a.s. yang tersurat dalam Al-Qur’an surat 14 ayat 37 dan dipilihnya Hadramaut yang bertetanaman, untuk menetap dan berhijrahlah beliau dari Basrah ke Hadramaut, dimana beliau wafat di Hasisah pada tahun 345 H.
ALWI BIN UBAIDILLAH….ALAWIYIN
Keturunan dari AHMAD BIN ISA tadi yang menetap di Hadramaut dinamakan ALAWIYIN ini dari nama cucunya AL-WI BIN UBAIDILLAH BIN AHMAD BIN ISA yang dimakamkan di Sumul.
Keturunan sayidina Al-Hasan dan Al-Huseyn r.a. disebut juga ALAWIYIN dari sayidina Ali bin Abi-Talib k.w, Keluarga Al-Anqawi, Al-Musa-Alkazimi, Al-Qadiri dan Al-Qudsi yang terdapat sedikit di Indonesia adalah Alawiyin, tapi bukan dari Alwi bin Ubaidillah.
MUHAMMAD AL-FAQIH AL-MUQADDAM
Luput dari serbuan Hulaku, saudara maharaja Cina, yang mentamatkan kekhalifahan Bani Abbas (1257 M), yang memang telah dikhawatirkan oleh AHMAD BIN ISA akan kutukan Allah s.w.t, maka di Hadramaut Alawiyin menghadapi kenyataan berlakunya undang-undang kesukuan yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan kenyataan bahwa penduduk Hadramaut adalah Abadhiyun yang sangat membenci sayidina Ali bin Abi-Talib r.a. Ini ternyata pula hingga kini dari istilah-istilah dalam loghat orang Hadramaut. Dalam menjalankan “tugas suci”, ialah pusaka yang diwariskannya, banyak dari pada suku Alawiyin tiada segan mendiami di lembah yang tandus. Tugas suci itu terdiri dari mengadakan tabligh-tabligh, perpustakaan-perpustakaan, pesantren-pesantren (rubat) dan masjid-masjid.
Alawiyin yang semuala bermazhab “Ahli-Bait” mulai memperoleh sukses dalam menghadapi Abadhiyun itu setelah Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam BIN ALI BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN ALWI BIN MUHAMMAD BIN ALWI BIN UBAIDILLAH melaksanakan suatu kompromis dengan memilih mazhab Muhammad bin Idris Al-Syafi-I Al-Quraisyi, ialah yang kemudian disebut mazhab Sayfi-I, Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam ini wafat di Tarim pada tahun 653 H.
TUGAS SUCI (ISLAMISASI)
Alawiyin dalam menyebarkan agama Islam menyeberang ke Afrika Timur, India, Malaysia, Thailand (Siam), Indonesia Tiongkok (Cina), Filipina, dsb.
 b. ALAWIYIN DI INDONESIA SEBELUM DIJAJAH BELANDA
Sebelumnya orang Barat datang, maka berkembanglah agama Islam dengan baik sekali dan terbentuklah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Runtuhnya Kerajaan Islam di semenanjung Iberia dalam abad ke VI M. dengan jatuhnya Al-Andalus (1492 M), mengakibatkan pengerjaan bangsa Spanyol terhadap Muslimin, pengejaran mana diberkati Paus Roma. Jika kehendak orang Spanyol menyeranikan, maka kehendak orang Portugis ialah berniaga dengan orang Muslim di Indonesia, dan oleh karena ini orang Portugis ialah memperoleh sukses. Sebab peperangan di Europa antara Spanyol sepihak dengan masing-masing Belanda dan Inggris, maka kedua bangsa ini turut juga datang ke Indonesia ditentang oleh kaum Muslimin di tanah air kita.
c. ALAWAYIN DI INDONESIA DI MASA JAJAHAN BELANDA
Dengan pelbagai tipu muslihat dan fitnah akhirnya Belanda disokong oleh negara-negara Barat lain, dapat menguasai Indonesia dan ekonomi Belanda mulai berkembang pesat sesudahnya dapat dipergunakan kapal uap. Alawiyin dari pada awalnya jajahan Belanda mulai merasakan rupa-rupa kesulitan, oleh karena Belanda melihat bahwa Alawiyin-lah yang dalam segala lapangan menjadi pelopornya, baik di medan perang maupun dalam bidang pengangkutan barang-barang lewat lautan atau bidang kebudayaan (agama).
Dilarangnya Alawiyin menetap di pedalaman pulau Jawa, dilarangnya berkeluarga dengan anggota istana (yang memang keturunan Alawiyin), hingga yang tiada mampu pindah ke perkampungan tertentu di bandar-bandar di tepi laut, atau karena sebab lain, mengambil nama keluarga Jawa agar dianggapnya orang Jawa asli, pribumi. Oleh karenanya pindahanya Alawiyin dari pedalaman ke bandar-bandar di pinggir laut, maka pula pusat ke-Islaman pindah ke utara seperti Semarang, Surabaya, Jakarta, dst. Yang tidak dapat berpindah dari pedalaman menetap di perkampungan-perkampungan yang disebut “kaum” Suku-suku Alawiyin yang telah anak-beranak dan tiada mampu pindah ke kota-kota besar dan mengambil nama ningrat Jawa, ialah banyak dari pada Al-Basyiban, Al-Baabud, Al-Binyahya, Al-Aydrus, Al-Fad’aq dan lain-lain lagi. Dalam keadaan yang demikian itu, Belanda baru mulai berusaha menyeranikan Jawa Tengah, dimana Islam tiada dapat berkembang oleh karena peperangan-peperangan melawan Belanda dan berhasilnya aneka fitnah yang Belanda ciptakan antara penguasa-penguasa pribumi sendiri.
Anak Muslim tiada boleh bersekolah, sedangkan anak Kristen dapat pendidikan dan pelajaran modern. Kemudian di-izinkan bersekolah Belanda anak-anak orang yang berpangkat pada pemerintah jajahan, dan diharuskan mereka tinggal (yakni in de kost) pada pejabat Belanda. Katanya agar, dapat lancar berbicara bahasa Belanda dan mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberi dalam bahasa itu; sebetulnya untuk menjadikan kanak-kanak itu berfikir dan hidup secara orang Belanda, dan untuk mengasingkan mereka dari bangsawan sendiri, dari adat-istiadat dan agamanya. Anak rakyat biasa, awam, mengaji, baik pada madrasah-madrasah Alawiyin atau pesantren-pesantren.
Hubungan Alawiyin dengan para kiyahi erat sekali. Untuk melumpuhkan berkembangnya agama islam di antara anak-anak rakyat jelata, Belanda mengadakan sekolah-sekolah Hollands Inlandse School (H.I.S) dengan syarat bahwa murid tiada boleh bersaring dan berkopya-pici, harus mengenakan celana pendek sampai atas lutut, pakaian mana bukan kebiasaan orang yang mendirikan salat. Jangan sampai kanak-kanak dapat membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab agama Islam yang tertulis dengan huruf Arab, Belnda mengajar dengan sungguh menulis dengan huruf lain, dan mengadakan buku-buku yang menarik, dalam huruf ini, untuk maksud mana dibentuknya Balai Perpustakaan. Banyak buku-buku yang dikarang oleh pendeta dan padri indolog dan orientalis, mengandung racun bagi anak murid yang pengetahuannya tentang Islam dan tarikhnya masih sangat Dangkal.
Alawiyin menolak tawaran Belanda untuk membangun Hollands-Arabise School (H.A.S, dan menolak pula subsidi dari pemerintah jajahan bagi madrasah-madrasahnya, karena curiga dan takut dri tipu muslihat dan pengaruh Belanda yang berniat merusak agama Islam. Alawiyin tiada dibolehkan menidirkan cabang-cabang mandrasah di kota-kota besar dengan nama yang sama, oleh karena itu nama-nama madrasah yang sama skala pendidikannya, berlainan namanya. Para guru dari negara Islam didatangkan untuk mengajar di madrasah-madrasah, dan kanak-kanak yang berbakat dikirim lanjutkan pelajarannya ke Hadramaut, Hejaz, Istanbul, Kairo dan lain-lain.
Disamping perguruan, Alawiyin aktif juga di lapangan politik hingga beberapa orang ditangkap dan dipenjarakan. Melawan Belanda antara mana di Aceh, dan sesudah Aceh ditaklukannya, Muslimin hendak mengadakan pemberontakan disana dengan mengibarkan bendera Khalifah Muslimin. Alawiyin hendak menerbitkan pemberontakan di Singapura di kalangan tertentu Muslimin India yang Inggeris hendak berangkatkan untuk berperang di iraq (Perang Dunia I). Perlu juga diketahui bahwa Alawiyin senantiasa berhubungan dengan Muslimin di luar negeri, orang-orang yang terkemuka dan berpengaruh, teristimewa dengan Padisyah, Khalifatul Muslimin, di Istanbul, yang atas aduan Alawiyin pernah mengirim utusan rahasia untuk menyelidiki keadaan-keadaan Muslimin di Indonesia.
d. ALAWIYIN DI INDONESIA DI MASA PENDUDUKAN MILITER JEPANG
Pendudukan militer Jepang menindas dan mematikan segala kegiatan Alawiyin, terutama dalam bidang politik, peguruan tabligh, pemeliharaan orang miskin dan anak yatim. Perpustakaan yang tidak dapat dinilai harganya di-angkat Jepang, entah kemana. Semua kibat ada capnya dari Al-Rabitah Al-alawiyah yang berpengurus-besar hingga kini di Jalan Mas Mansyur (dahulu jalan Karet) No. 17 Jakarta Pusat (II/24).
e. ALAWIYIN DI INDONESIA SETELAH MERDEKA
Pemuda Alawiyin turut giat melawan Inggeris dan Belanda (Nica), bergerilya di pegunungan. SEMUA PEMUDA ALAWIYIN ADALAH WARGANEGARA INDONESIA dan masuk 
 berbagai partai Islam. Dalam lapangan ekonomi mereka sangat lemah hingga kini belum dapat merebut kembali kedudukannya seperti sebelumnya pecah perang dunia ke-dua dengan lain kata, jika Alawiyin sebelumnya Perang Dunia ke II dapat membentuk badan-badan sosial seperti gedung-gedung madrasah, rumah yatim piatu, masjid-masjid dan membayar guru-guru yang cakap, maka sekarang ini dengan susah payah mereka membiayai pemeliharaannya dan tidak dapat lagi memberi tenaga guru-guru sepandai dan seacakap yang dahulu, meskipun kesempatan kiniadalah lebih baik dari dan pertolongan pemerintah ala qadarnya. Kegiatan yang tersebar sampai di pelosok-pelosok kepualauan Indonesia.
Alawiyin yang lebih dikenal dengan sebutan sayid, habib, ayib dan sebagainya tetap dicinta dimana-mana dan memegang peranan rohani yang tidak dapat dibuat-buat sebagaimana juga di negara islam lain. Kebiasaan dan tradisi Alawiyin di-ikuti dalam Perayaan maulid Nabi, haul, nikah, upacara-upacara kematian dan sebagainya.
Suku-suku Alawiyin di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 50.000 orang; ada banyak yang besar, antara mana Al-Saggaf, Al-Attas, Al-Syihab, Al-Habasyi, Al-Aydrus, Al-Kaf, Al-Jufri, Al-Haddad dan semua keturunan asal-usul ini dicatat dan dipelihara pada Al-Maktab Al-Da-imi yaitu kantor tetap untuk statistik dan pemeliharaan nasab sadatul-alawiyin yang berpusat di gedung “Darul Aitam”

Rabu, 09 Maret 2011

Manaqib Al-Habib Abdullah Bin Alwi Bin Muhammad Al Haddad

Manaqib al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad رضي الله عنه
Sempena Majlis Haul al-Imam al-Habib ‘Abdullah al-Haddad tahun 1430H, maka ambo ingin berkongsi sekelumit manaqib beliau رضي الله عنه. Manaqib serba ringkas ini sebenarnya dah pun ambo paparkan diblog al-Fanshuri sewaktu menceritakan pengalaman ziarah ke Hadramaut. Cuma yang ini, ambo tambah mana yang kurang. Untuk lebih mengenali beliau رضي الله عنه, bacalah kitab-kitab karangannya.
Nasabnya yang mulia: al-Habib Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad al-Haddad bin ‘Alawi bin Ahmad bin Abi Bakar bin Ahmad bin Abi Bakar al–Thowil bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin al-Faqih Ahmad bin ‘Abdurrahman bin ‘Alawi bin Muhammad Shahib Mirbath bin ‘Ali bin ‘Alwi Khali’ Qasam bin Muhammad bin ‘Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin ‘Isa al-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin ‘Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zain al-‘Abidin bin al-Hussin al-Sibth bin ‘Ali suami Fathimah al-Zahra’ binti Muhammad Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Al-Imam Al-Habib Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad bin ‘Ali al-Haddad رضي الله عنه diputerakan pada malam Itsnain 5 Shafar 1044H (30 Julai 1634M). [ada riwayat yang mengatakan bahwa beliau رضي الله عنه dilahirkan pada malam Khamis 5 Shafar 1044H sebagaimana disebut oleh Thoha bin Hasan bin 'Abdurrahman as-Seggaf]. Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh ‘Ahmad bin ‘Abdul Karim al-Hasawi as-Sajjar didalam kitab yang bertajuk Tatsbitul Fuad bi Zikri Kalam Majalis al-Quthub al-Imam ‘Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad, beliau berkata: Beliau رضي الله عنه berkata:
Kami telah menghafaz tarikh kelahiran kami daripada ibu kami. Ibuku berkata: Aku dilahirkan pada malam Itsnain, tanggal 5 Safar, tahun 1044H. Beliau رضي الله عنه bercerita lagi: Seorang jiran wanita membungkusku dengan pakaian ayahku. Malam itu aku menangis dan menjerit-jerit sampai pagi. Lalu ibuku berkata kepada sebahagian wanita yang berada didalam rumah: Cuba engkau lihat, apa terjadi kepada anakku, kenapa dia tidak mahu diam. Wanita itu kemudian memeriksa kain yang membalutku. Ternyata didalamnya terdapat seekor kala jengking yang sangat besar. Badanku merah-merah kerana sengatannya [dalam setengah riwayat mengatakan lebih dari 20 sengatan].
Beliau didlahirkan disebuah perkampungan bernama Subair yang terletak berhampiran dengan kota Tarim di Wadi Hadhramaut, di Selatan Yaman. Beliau membesar didalam lingkungan keluarganya yang terkenal dengan kesholehan.
Ayahnya Habib ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad, sejak kecil berada di bawah asuhan ibunya Hababah Salwa, yang dikenal sebagai wanita ahli ma’rifah dan wilayah. Bahkan al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad رضي الله عنه sendiri banyak meriwayatkan kekeramatan ayahnya. Datuk al-Habib Abdullah al-Haddad dari sebelah ibunya Habib Umar bin Ahmad al-Manfar Ba’Alawi yang termasuk ulama yang mencapai darjat ma’rifah yang sempurna. Imam al-Haddad رضي الله عنه meriwayatkan sekitar 45 karamah yang dimilikinya.
Imam al-Haddad رضي الله عنه mendapat didikan awal dari ayahandanya Habib ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad dan ibundanya Hababah Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad al-Habsyi .
Ketika umurnya 4 tahun, beliau رضي الله عنه telah diserang penyakit cacar hingga menyebabkan beliau buta kedua matanya. Walaubagaimanapun matahati terang benderang. Sewaktu kecilnya beliau tidak menghabiskan masanya dengan bermain sebagaimana anak kecil sebayanya. Beliau رضي الله عنه menghabiskan waktunya dengan menghafal al-Quran, bermujahadah an-Nafs dengan mengerjakan banyak ibadah dan mencari ilmu.
Ayahnya, al-Habib ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad wafat pada malam itsnain awal bulan Rajab 1072H. Kemudian disusuli pula oleh ibunya iaitu pada hari Rabu, tanggal 24 Rajab 1072H. Ketika itu Imam al-Haddad sudah berumar 28 tahun.
Guru-gurunya: Diantara guru-guru beliau رضي الله عنه adalah:
al-Habib Muhammad bin ‘Alawi bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Bakar bin ‘Abdurrahman al-Saqqaf (1002 – 1071H)
Syaikh Abu Bakar bin bin Imam ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Abu Bakar bin Syaikh ‘Abdurrahman al-Saqqaf
al-Habib ‘Aqil bin ‘Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Ali bin ‘Aqil bin Syaikh Ahmad bin Abu Bakar bin Syaikh bin ‘Abdurrahman al-Saqqaf
al-Habib ‘Umar bin ‘Abdurrahman al-‘Atthas bin Aqil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman al-Saqqaf (wafat:1072H).
al-Habib ‘Abdurrahman bin Syaikh Maula ‘Aidid Ba’alawi (wafat: 1068H)
Sayyid Syaikhan bin Imam al-Hussein bin Syaikh Abu Bakar bin Salim
al-Habib Syihabuddin Ahmad bin Syaikh Nashir bin Ahmad bin Syaikh Abu Bakar bin Salim
al-Habib Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Syaikh al-Arifbillah Ahmad bin Syaikh al-Hussein bin Syaikh al-Quthb al-Rabbani Abu Bakar bin Abdullah al-‘Aydrus (1035-1112H)
Sayyid al-Faqih al-Shufi Abdullah bin Ahmad Ba`alawi al-Asqa’
Sayyid Syaikh al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Qusyasyi (wafat 1071H)
Khirqah Sufiyah: Imam al-Haddad رضي الله عنه menerima khirqah sufiyyah, antaranya daripada:
al-Habib ‘Aqil bin ‘Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Ali bin ‘Aqil bin Syaikh Ahmad bin Abu Bakar bin Syaikh bin ‘Abdurrahman al-Saqqaf,
al-Habib ‘Umar bin ‘Abdurrahman al-‘Atthas bin Aqil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman al-Saqqaf (wafat:1072H),
al-Habib Syihabuddin Ahmad bin Syaikh Nashir bin Ahmad bin Syaikh Abu Bakar bin Salim,
al-‘Arifbillah Syaikh Muhammad bin ‘Alawi as-Saqqaf al-Makki
Beliau adalah merupakan Quthub al-Aqtab pada zamannya. Dan ada ulama mengatakan bahwa beliau رضي الله عنه menduduki makam tersebut hampir 60 tahun.
Murid-muridnya: Murid-murid beliau, antaranya:-
al-Habib Hasan bin ‘Abdullah al-Haddad (anak beliau);
al-Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi;
al-Habib ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah Balfaqih;
al-Habib Muhammad bin Zein bin Smith;
al-Habib ‘Umar bin Zein bin Smith;
al-Habib ‘Umar bin ‘Abdurrahman al-Bar;
al-Habib ‘Ali bin ‘Abdullah bin Abdurrahman al-Saqqaf;
al-Habib Muhammad bin ‘Umar bin Thoha ash-Shafi al-Saqqaf;
Syaikh Ahmad bin Abdul Karim al-Hasawi asy-Syajjar
Al-Faqih BaJubair – beliau adalah merupakan guru kepada Imam al-Haddad dalam ilmu fiqih namun setelahnya ulama ini bellajar kitab Ihya kepada Imam al-Haddad. Imam al-Haddad berkata: Setelah kembali ke Hadramaut (dari India) dia belajar Ihya kepadaku. Aneh sekali! Dahulu aku belajar fiqih kepadanya, namun sekarang dia belajar ihya kepadaku.
dan ramai lagi
Penulisan: Beliau رضي الله عنه mula menulis ketika berumar 25 tahun dan karya terakhir beliau ditulis pada ketika usianya 86 tahun. Karya al-Habib Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad, antaranya:-
Risalah al-Muzaakarah ma’a al-Ikhwan al-Muhibbin min Ahl al-Khair wa ad-Din (رسالة المذاكرة مع الإخوان المحبين من أهل الخير والدين) – kitab ini selesai ditulis pada hari Ahad sebelum waktu Dhuhur, akhir bulan Jumadilawwal 1069H.
Risalah al-Mu’aawanah wa al-Mudzaaharah wa al-Mu`aazirah li ar-Raghibin minal Mu’minin fi Suluki Thoriqil Akhirah (رسالة المعاونة والمظاهرة والمؤازرة للراغبين من المؤمنين في سلوك طريق الأخرة) – kitab ini selesai ditulis pada tahun 1069H, sewaktu beliau berusia 26 tahun. Dan ditulis atas permintaan Habib Ahmad bin Hasyim al-Habsyi.
Risalah Aadab Suluk al-Murid (رسالة آداب سلوك المريد) – kitab ini selesai penulisannya pada tanggal 7 atau 8 Ramadhan, tahun 1071H.
Ithaf as-Saail bi Jawaab al-Masaail (إتحاف السائل بجواب المسائل) – kitab ini adalah merupakan kumpulan jawaban atas pelbagai persoalan yang diajukan kepada beliau oleh Syaikh ‘Abdurrahman Ba’Abbad asy-Syibaami. Dan ianya ditulis sewaktu Imam al-Haddad berkunjung ke Dau’an pada tahun 1072H. Kitab ini mengandungi 15 pertanyaan dengan jawaban dan ulasan yang mendalam dari Imam al-Haddad. Selesai ditulis pada hari Jum’at, 15 Muharram 1072.
An-Nashoih ad-Diniyah wa al-Washoya al-Imaniyah (النصائح الدينية والوصايا الإيمانية) – kitab ini beliau tulis pada usia 45 tahun. Selesai ditulis pada hari Ahad, 22 Sya’ban 1089H. Kitab ini mendapat pujian dari para ulama kerana ianya merupakan suatu ringkasan daripada Ihya. Kata-kata di dalam kitab ini mudah, kalimatnya jelas, perbahasannya sederhana dan disertai dengan dalil yang kukuh. Sesuai dibaca oleh orang awwam dn juga khawas.
Sabil al-Iddikar wa al-I’tibaar bima Yamurru bi al-Insan wa Yanqadhi lahu min al-’A’maar (سبيل الإدكار والا عتبار بما يمر بالإنسان وينقضي له من الأعمار) – terdapat perbedaan pendapat mengenai usia Imam Haddad menulis kitab ini. Ada yang mengatakan pada ketika beliau berusia 60 tahun (1104H) atau 63 tahun (1107H). Dan ada yang mengatakan kitab ini diselesaikan pada hari Ahad 29 Sya’ban 1110H. Kitab ini membahaskan mengenai fasa-fasa hidup manusia.
Ad-Da’wah at-Tammah wa at-Tazkirah al-‘Ammah (الدعوة التامة و التذكرة العامة) – kitab ini diselesaikan oleh Imam al-Haddad pada usia beliau 70 tahun. Selesai ditulis pada pagi Jum’at 27 atau 28 Muharram 1114H.
An-Nafais al-‘Uluwiyyah fi al-Masaail as-Shufiyyah (النفائس العلوية في المسائل الصوفية) – kitab ini selesai ditulis pada hari Khamis, bulan Dhulqaedah 1125H. Usia Imam al-Haddad pada ketika ini adalah 81 tahun. Kitab ini membahaskan masalah yang berkaitan dengan shufi.
Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hikamiyah (الفصول العلمية والأصول الحكمية) – kitab ini selesai ditulis pada 12 Shafar 1130H iaitu ketika Imam al-Haddad berusia 86 tahun iaitu 2 tahun sebelum kewafatan beliau.
Kitab al-Hikam (كتاب الحكم )
Mukhatabat wa Washoya ( مكاتبات و وصايا )
Wasilah al-‘Ibaad ila Zaad al-Ma’aad (وسيلة العباد إلى زاد المعاد);
Ad-Durr al-Mundzum li Zaawil ‘Uqul wa al-Fuhuum (الدر المنظوم لذوي العقول والفهوم);
Tastbitul Fuad ( تثبيت الفؤاد)- dikumpul oleh murid beliau Syaikh Ahmad bin Abdul Karim al-Hasawi asy-Syajjar)
Kebanyakkan karya beliau telah diterjemahkan ke bahasa Inggeris , Perancis dan juga bahasa Indonesia dan Malaysia.
Ibadahnya: Beliau رضي الله عنه sangat bersungguh-sungguh didalam mengerjakan ibadah dan mujahadah an-Nafs sedari usianya masih kanak-kanak. Pada bidayahnya beliau mengunjungi seluruh masjid di kota Tarim untuk beribadah. Beliau sentiasa berjaga malam untuk mengerjakan ibadah. Hampir 40 tahun beliau bersholat shubur dengan wudhu` sholat ‘Isya`. Banyak berzikir dan membaca al-Quran. Biji tasbihnya berjumlah 1000 biji. Beliau menunaikan ibadah haji pada tahun 1079H, iaitu ketika berusia 35 tahun. Beliau juga mengambil kesempatan tersebut untuk bertemu para ulama di Haramain.
Akhlaqnya: Akhlaqnya mencontohi akhlaq datuknya, Rasulullah صلى لله عليه وآله وسلم samaada pada perkataan atau perbuatannya. Terkenal sebagai seorang yang pemurah. Sentiasa manis bibirnya dengan senyuman dan menngembirakan orang lain. Sangat memberi perhatian kepada penuntut ilmu dan majlis ilmu. Membalas kejahatan dengan kebaikan. Sangat wara’ dalam perkara-perkara syubhat. Kalau memberi upah beliau akan memberi lebih tinggi daripada yang diharapkan. Beliau رضي الله عنه juga adalah seorang yang sangat menyayangi kaum faqir miskin. Beliau pernah berkata: Andaikata aku berupaya atau mampu, tentu akan aku penuhi keperluan semua kaum miskin, sebab pada awalnya, agama ini ditegakkan oleh kaum mu’minin yang lemah. Beliau juga berkata: Dengan sesuap makanan tertolaklah berbagai bencana.
Beliau رضي الله عنه seorang yang tidak menyukai kemasyhuran atau kemegahan dan tidak suka dipuji. Beliau berkata: Banyak orang membuat syair-syair untuk memujiku. Sesungguhnya aku hendak mencegah mereka, tetapi aku khuatir tidak ikhlas dalam berbuat demikian. Maka kubiarkan mereka berbuat sekehendaknya. Dalam hal ini aku lebih suka meneladani Nabi صلى الله عليه وآله وسلم kerana Baginda pun tidak melarang ketika shahabat Baginda membacakan syair-syair pujian kepada Baginda.
Oleh kerana beliau رضي الله عنه seorang khumul, menghindari syuhrah (kemasyhuran), sangat tidak suka orang membicarakan karamahnya maka beliau pernah memerintahkan muridnya melupuskan (dengan menghanyutkan kesungai) 2 jilid kitab disusun yang menyebut tentang karamahnya. Dan beliau selalu mennashihati muridnya untuk tidak melakukan ibadah untuk mendapatkan karamah.
Beliau رضي الله عنه juga suka mendirikan masjid, antara yang dibinanya adalah Masjid al-Awwabin, Masjid al-Abrar, Masjid al-Abdal, Masjid al-Fath, Masjid at-Tawwabin dan Masjid Ba’Alawi di Basyon.
Karamahnya: Al-Habib ‘umar bin Zain bin Sumaith mengatakan bahwa seorang waliyullah yang hidup sezaman dengan al-Imam ‘Abdullah bin ‘alawi al-Haddad dan bermuqim di Mekah – sehari setelah kewafatan Imam al-Haddad – telah memberitahu kepada sejumlah orang di Mekah bahwa semalam Imam al-Haddad telah wafat. Ketika ditanya, darimana waliyullah itu tahu hal tersebut, maka beliau menjawab: Tiap hari siang dan malam, saya melihat beliau (Imam al-Haddad) selalu datang thawaf Ka’bah (padahal Imam al-Haddad berada di Tarim). Hari ini aku tidak melihatnya lagi, kerana itu aku mengetahui bahwa beliau sudah wafat.
Pujian Ulama Keatasnya: Mufti Hadhramaut, Habib ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar al-Masyhur Ba ‘Alawi dalam Ghaayatu Talkhish al-muraad min fatawa Ibni Ziyaad menyatakan bahawa Imam a-Haddad رضي الله عنه adalah merupakan mujaddid kurun ke-11H. Pada halaman 293 – 294 di pinggir Bughyatul Mustarsyidin, beliau menyatakan:- [Masalah] Hadits “Bahawasanya Allah akan membangkitkan buat umat ini pada awal setiap 100 tahun orang yang akan memperbaharui (mentajdidkan) agama umat ini (yakni yang akan memperbaharui pegangan dan keyakinan umat terhadap agama mereka),” dikeluarkan hadits ini oleh Imam Abu Dawud dan Imam al-Hakim dan selain kedua mereka. Dan dalam lafaz lain dinyatakan “Pada setiap 100 tahun seorang lelaki daripada ahli baitku,” sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad. Berkata Imam as-Sayuthi, hadits ini adalah masyhur dengan diriwayatkan oleh para hafiz yang muktabar. Maka mujaddid bagi:-
Kurun pertama: Sayyidina ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz;
Kurun ke-2: Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi`i;
Kurun ke-3: Ibnu Suraij atau al-Asy’ari;
Kurun ke-4: ash-Sha’luki atau Abu Hamid al-Isfaraini atau Qadhi Abu Bakar al-Baaqilani;
Kurun ke-5: Imam al-Ghazali tanpa ada khilaf;
Kurun ke-6: al-Fakhrur Razi atau ar-Rifaa`i;
Kurun ke-7: Ibnu Daqiiqil ‘Eid;
Kurun ke-8: al-Bulqini dan Zainuddin al-’Iraqi atau Ibnu Bintil Mailaq;
Kurun ke-9: Syaikh Zakaria al-Anshari sebagaimana dinyatakan oleh guru kami ath-Thanbadaawi dan adalah Imam asy-Sayuthi telah menisbahkan tajdid kepada dirinya (yakni menyatakan dirinya sebagai mujaddid), dan tiada syak bahawa Syaikh Zakaria lebih memberi manfaat (buat umat) dan lebih masyhur, maka dialah mujaddid ke-9 ini, insya-Allah;
Kurun ke-10: yang aku jumpa daripada keterangan para masyaikh bahawa mujaddid kurun ini ialah Syaikh Ahmad bin Hajar al-Haitami atau Imam Muhammad ar-Ramli, dan dirajihkan oleh sebahagian ulama bahawa mujaddidnya ialah Imam Muhammad ar-Ramli kerana Imam Ibnu Hajar meninggal sebelum berlalu kurun (yakni Imam Ibnu Hajar meninggal di akhir kurun dan tidak bertemu dengan awal kurun yang baru);
Kurun ke-11: Sayyidinal Quthub ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad ‘Alawi;
Kurun ke-12: al-Quthub Ahmad bin ‘Umar bin Sumaith Alawi. [petikan dari blog Ustaz Abu Muhammad - Bahrusshofa]
Seorang ulama menggambarkan kedudukan beliau dengan ungkapan: Didalam dunia tasawwuf Imam al-Ghazali ibarat pemintal kain, Imam ‘Abdul Wahab asy-Sya’rani ibarat tukang potong dan al-Habib Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad adalah penjahitnya.
Syaikh Hussin bin Muhammad BaFadhal al-Makki (wafat 1087H) mengatakan: Bahwa ada 3 tokoh pada masanya. Pertama, yang halnya menutupi maqalnya iaitu Al-Habib Muhammad bin ‘Alwi al-Saqqaf (mufti Mekah), kedua yang maqalnya menutupi halnya iaitu Syaikh Ahmad al-Qusyasyi (mufti Madinah, wafat 1071H), dan ketiga, yang sampai pada darjah sempurna diantara hal dan maqalnyanya itu al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad. Syaikh Hussin baFadal juga mengatakan: Dia (Imam al-Haddad) adalah lautan bathin dan dzahir.
Al-Habib Abu Bakar al-Jufri (wafat 1089H) mengatakan: Aku telah berkumpul dengan lebih dari 40 orang waliyullah, tetapi aku tidak pernah mneyaksikan seperti Sayyid ‘Abdullah al-Haddad, dan tidak ada pula yang mengunggulinya. Dia ialah Nafas Rahmani.
Kewafatannya: Khamis 27 Ramadhan 1132H, beliau mula sakit dan sakitnya berlanjutan selama 40 hari sampai akhirnya pada malam Selasa 7 Dzulqaedah 1132H (bersamaan 10 September 1720M), al-Habib Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad bin ‘Ali al-Haddad رضي الله عنه dijemput Allah kehadratNya ketika berusia 89 tahun. Makam beliau رضي الله عنه terletak di kawasan pemakaman Zanbal, di kota Tarim. Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada ruhnya dan memberi manfaat kepada kita dengan ilmu-ilmunya
اَلَّلهُمَّ انْشُرْنَفَحَاتِ الِّرضْوَانِ عَلَيْهِ، وَأَمِدَّنَا بِالأَسْرَارِ الَّتِي أَوْدَعْتَهَالَدَيْهِ. اَلَّلهُمَّ صَلِّ عَلىَ جَدِّهِ النَّبِيِّ الأَمِيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعْيْنَ
Ya Allah! Sebarkanlah hembusan keredhaanMu ke atasnya dan limpahkanlah ya Allah, kepada kami segala rahsia yang Engkau simpan disisinya. Ya Allah! Kurniakanlah rahmat dan kesejahteraan keatas nendanya, Nabi al-Amin, penghulu kami Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم dan keatas keluarga dan shahabat-shahabatnya sekalian
الفاتحة إلى حضرة النبي محمد صلى الله عليه وآله وسلم وإلى روح سيدنا قطب الإرشاد وغوث العباد والبلاد الحبيب عبد الله بن عاوي بن محمد الحداد وأصوله وفروعهم أن الله يعلي درجاتهم في الجنة ويكثر من مثوباتهم ويضاعف حسناتهم ويحفظنا بجاههم وينفعنابهم ويعيد علينا من بركاتهم وأسرارهم وأنوارهم وعلومهم ونفحاتهم في الدين والدنيا والآخرة – الفاتحة
Sebagai mengakhiri manaqib ringkas Imam al-Haddad, ambo bawakan sepotong nashihat beliau yang sangat berharga untuk panduan kita ….. dari himpunan syair beliau berjudul ad-Durrul Mandzum yang ambo petik dari blog Ustaz Abu Muhammad (Bahrusshofa)
Jika kau ingin hidup bahagia sepanjang umurmu dan setelah mati, kuburmu dijadikan taman syurga;
Dan engkau dibangkitkan tatkala tiupan sangkakala dalam keadaan aman dari rasa takut, terancam, terusir dan dari kerugian;
Dan dihadapkan (kepada Allah) dalam kemuliaan dan keagungan, diberi khabar gembira oleh para malaikat dengan kejayaan dan ganjaran pahala;
Dan diberatkan timbangan amalanmu dengan amalan-amalan yang menggembirakan engkau di Padang Mahsyar;
Dan engkau melintasi sepantas kilat titian ash-Shirath, serta meneguk minuman dari telaga Nabi al-Mustofa yang suci;
Dan hidup kekal dalam syurga-syurga yang tinggi penuh keni’matan, mendapat bahagian untuk dekat dengan Tuhan yang Satu, Maha Esa dan Tunggal;
Dan engkau melihatNya dengan matamu dalam keadaan Dia Maha Suci dari bertempat, dari kaifiyyat, dari had dan batasan;
Maka perelokkan keyakinanmu, kerana sesungguhnya apabila keyakinan telah sempurna, yang ghaib akan nampak nyata tanpa diengkari;
Dan jadikanlah Asy’ariyyah sebagai pegangan i’tiqadmu, kerana sesungguhnya ia adalah sumber minuman yang suci bersih dari penyimpangan dan kekufuran;
Dan telah menyusun Quthubul Imam sandaran kita, ‘aqidahnya yang merupakan penawar bagi segala marabahaya;
Dan orang yang kumaksudkan dengannya itu ialah satu-satunya yang disifatkan dengan gelaran Hujjatul Islam (yakni Imam al-Ghazali رحمه الله ), maka sudah sepatutnya engkau berasa bangga.

Al Habib Al Imam Abdullah bin Alawi Al Haddad dilahirkan  pada malam Kamis
5 Shafar 1044 H di pinggiran kota Tarim, sebuah kota terkenal di
Hadhramaut, Yaman. Beliau bermadzhab Syafi‘i. Nasabnya bersambung
sampai kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib RA, suami Sayyidatuna Fatimah binti
Rasulillah SAW.  
Ayahnya, Al Habib Alawi bin Muhammad
adalah seorang yang saleh dari keturunan orang-orang saleh. Di masa
mudanya, beliau berkunjung ke kediaman Habib Ahmad bin Muhammad
Al-Habsyi Shôhibusy Syi‘ib untuk memohon doa, Habib Ahmad berkata,
“Anak-anakmu adalah anak-anak kami juga, mereka diberkahi Allah.”  
Saat
itu Habib Alwi tidak mengerti maksud ucapan Habib Ahmad. Namun, setelah
menikahi Salma, cucu dari Habib Ahmad bin Muhammad, Habib Alwi baru
sadar bahwa rupanya perkawinan ini yang diisyaratkan oleh Habib Ahmad
bin Muhammad dalam ucapannya.  
Sebagaimana
suaminya, Salma adalah seorang wanita yang sholihah. Dari istrinya ini,
Habib Alwi mendapat putra-putri yang baik dan saleh, di antaranya
adalah Abdullah.  
Ketika Habib Abdullah berusia 4
tahun, ia terserang penyakit cacar. Demikian hebat penyakit itu hingga
butalah kedua matanya. Namun, musibah ini sama sekali tidak mengurangi
kegigihannya dalam menuntut ilmu. Ia berhasil menghapal Quran dan
menguasai berbagai ilmu agama ketika terhitung masih kanak-kanak.
Rupanya Allah berkenan menggantikan penglihatan lahirnya dengan
penglihatan batin, sehingga kemampuan menghapal dan daya pemahamannya
sangat mengagumkan. 
Beliau sejak kecil gemar
beribadah dan riyâdhoh. Nenek dan kedua orang tuanya seringkali tidak
tega menyaksikan anaknya yang buta ini melakukan berbagai ibadah dan
riyâdhoh. Mereka menasihati agar ia berhenti menyiksa diri. Demi
menjaga perasaan keluarganya, si kecil Abdullah pun mengurangi ibadah
dan riyâdhoh yang sesungguhnya amat ia gemari. Ia pun kini memiliki
lebih banyak waktu untuk bermain-main dengan teman-teman sebayanya.
“Subhânallôh, sungguh indah masa kanak-kanak...,” kenang beliau suatu
hari.
Di kota Tarim, beliau tumbuh dewasa.
Bekas-bekas cacar tidak tampak lagi di wajahnya. Beliau berperawakan
tinggi, berdada bidang, berkulit putih, dan berwibawa. Tutur bahasanya
menarik, sarat dengan mutiara ilmu dan nasihat berharga.  
Beliau
sangat gemar menuntut ilmu. Kegemarannya ini membuatnya sering
melakukan perjalanan untuk menemui kaum ulama. Beliau ra berkata, “Apa
kalian kira aku mencapai ini dengan santai? Tidak tahukah kalian bahwa
aku berkeliling ke seluruh kota-kota (di Hadramaut) untuk menjumpai
kaum sholihin, menuntut ilmu dan mengambil berkah dari mereka?”  
Beliau
juga sangat giat dalam mengajarkan ilmu dan mendidik murid-muridnya.
Banyak penuntut ilmu datang untuk belajar kepadanya. Suatu hari beliau
berkata, “Dahulu aku menuntut ilmu dari semua orang, kini semua orang
menuntut ilmu dariku.”  
“Andaikan penghuni zaman
ini mau belajar dariku, tentu akan kutulis banyak buku mengenai makna
ayat-ayat Quran. Namun, di hatiku ada beberapa ilmu yang tak kutemukan
orang yang mau menimbanya.”  
Habib Abdullah
mengamati bahwa kemajuan zaman justru membuat orang-orang saleh
menyembunyikan diri; membuat mereka lebih senang menyibukkan diri
dengan Allah. “Zaman dahulu keadaannya baik. “Dagangan” kaum sholihin
dibutuhkan masyarakat, oleh karena itu mereka menampakkan diri. Zaman
ini telah rusak, masyarakat tidak membutuhkan “dagangan” mereka, karena
itu mereka pun enggan menampakkan diri,” papar beliau.  
Beliau
sangat menyayangi kaum fakir miskin. “Andaikan aku kuasa dan mampu,
tentu akan kupenuhi kebutuhan semua kaum fakir miskin. Sebab pada
awalnya, agama ini ditegakkan oleh orang-orang mukmin yang lemah.”  
Beliau juga berkata, “Dengan sesuap (makanan) tertolaklah berbagai bencana.”  
Beliau
gemar berdakwah, baik dengan lisan maupun tulisan, kemudian
mencontohkannya dalam amal perbuatan. Kegemarannya berdakwah
menyebabkan ia banyak bergaul dan melakukan perjalanan. “Sesungguhnya
aku tidak ingin bercakap-cakap dengan masyarakat, aku juga tidak
menyukai pembicaraan mereka, dan tidak peduli kepada siapa pun dari
mereka. Sudah menjadi tabiat dan watakku bahwa aku tidak menyukai
kemegahan dan kemasyhuran. Aku lebih suka berkelana di gurun Sahara.
Itulah keinginanku; itulah yang kudambakan. Namun, aku menahan diri
tidak melaksanakan keinginanku agar masyarakat dapat mengambil manfaat
dariku.”  
Keaktifannya dalam mendidik dan
berdakwah membuatnya digelari Quthbud Da’wah wal Irsyâd. Beliau
berkata, “Ajaklah orang awam kepada syariat dengan bahasa syariat;
ajaklah ahli syariat kepada tarekat (thorîqoh) dengan bahasa tarekat;
ajaklah ahli tarekat kepada hakikat (haqîqoh) dengan bahasa hakikat;
ajaklah ahli hakikat kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq, dan ajaklah
ahlul haq kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq.”  
Dalam
kehidupannya, beliau juga sering mendapat gangguan dari masyarakat
lingkungannya. “Kebanyakan orang jika tertimpa musibah penyakit atau
lainnya, mereka tabah dan sabar; sadar bahwa itu adalah qodho dan qodar
Allah. Tetapi jika diganggu orang, mereka sangat marah. Mereka lupa,
bahwa gangguan-ganguan itu sebenarnya juga merupakan qodho dan qodar
Allah, mereka lupa bahwa sesungguhnya Allah hendak menguji dan
menyucikan jiwa mereka. Nabi saw bersabda, “Besarnya pahala tergantung
pada beratnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, Ia akan menguji
mereka. Barang siapa ridho, ia akan memperoleh keridhoan-Nya; barang
siapa tidak ridho, Allah akan murka kepadanya.”  
Habib
Abdullah mengetahui bahwa ada beberapa orang yang memakan hidangannya,
tetapi juga memakinya. “Perbuatan mereka tidak mempengaruhi sikapku.
Aku tidak marah kepada mereka, bahkan mereka kudoakan.”  
Habib
Abdullah tidak pernah menyakiti hati orang lain, apabila beliau
terpaksa harus bersikap tegas, beliau kemudian segera menghibur dan
memberikan hadiah kepada orang yang ditegurnya. “Aku tak pernah
melewatkan pagi dan sore dalam keadaan benci atau iri pada seseorang,”
kata Habib Abdullah.  
Beliau lebih suka
berpegang pada hadis Nabi saw: “Orang beriman yang bergaul dengan
masyarakat dan sabar menanggung gangguannya, lebih baik daripada orang
yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak pula sabar menghadapi
gangguannya.”  
Beliau menulis dalam syairnya:  
   Bila Allah mengujimu, bersabarlah
   karena itu hak-Nya atas dirimu.
   Dan bila Ia memberimu nikmat, bersyukurlah.  
   Siapa pun mengenal dunia, pasti akan yakin
   bahwa dunia tak syak lagi 
   adalah tempat kesengsaraan dan kesulitan. 
Habib
Abdullah tidak menyukai kemasyhuran atau kemegahan, beliau juga tidak
suka dipuji. “Banyak orang membuat syair-syair untuk memujiku.
Sesungguhnya aku hendak mencegah mereka, tetapi aku khawatir tidak
ikhlas dalam berbuat demikian. Jadi, kubiarkan mereka berbuat
sekehendaknya. Dalam hal ini aku lebih suka meneladani Nabi saw, karena
beliau pun tidak melarang ketika sahabatnya membacakan syair-syair
pujian kepadanya.”  
Suatu hari beliau berkata
kepada orang yang melantunkan qoshidah pujian untuk beliau, “Aku tidak
keberatan dengan semua pujian ini. Yang ada padaku telah kucurahkan ke
dalam samudra Muhammad saw. Sebab, beliau adalah sumber semua
keutamaan, dan beliaulah yang berhak menerima semua pujian. Jadi, jika
sepeninggal beliau ada manusia yang layak dipuji, maka sesungguhnya
pujian itu kembali kepadanya. Adapun setan, ia adalah sumber segala
keburukan dan kehinaan. Karena itu setiap kecaman dan celaan terhadap
keburukan akan terpulang kepadanya, sebab setanlah penyebab pertama
terjadinya keburukan dan kehinaan.”
Beliau tak
pernah bergantung pada makhluk dan selalu mencukupkan diri hanya dengan
Allah. “Dalam segala hal aku selalu mencukupkan diri dengan kemurahan
dan karunia Allah. Aku selalu menerima nafkah dari khazanah
kedermawanan-Nya.” Beliau juga berkata, “Aku tidak melihat ada yang
benar-benar memberi, selain Allah. Jika ada seseorang memberiku
sesuatu, kebaikannya itu tidak meninggikan kedudukannya di sisiku,
karena aku menganggap orang itu hanyalah perantara saja.” 

Karya dan Kata Mutiara 
Meski buta dan sangat sibuk berdakwah, beliau masih sempat menulis buku-buku berikut: 
01.   An-Nashôihud Dîniyyah
02.   Ad-Da’watut Tâmmah
03.   Risâlatul Mu’âwanah
04.   Al-Fushûlul ‘Ilmiyyah
05.   Sabîlul Iddikâr
06.   Risâlatul Mudzâkarah
07.   Risâlatul Murîd
08.   Kitâbul Hikam
09.   An-Nafâisul Uluwiyyah
10. Ithâfus Sâil 

Karya-karya
beliau sarat dengan inti sari ilmu syariat, adab Islami dan tarekat,
penjabaran ilmu hakikat, menggunakan ibarat yang jelas dan tata bahasa
yang memikat. Semuanya ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami.
Berisi ajaran tasawuf murni. “Aku mencoba menyusunnya dengan ungkapan
yang mudah, supaya dekat dengan pemahaman masyarakat, lalu kugunakan
kata-kata yang ringan, supaya segera dapat dipahami dan mudah
dimengerti oleh kaum khusus maupun awam.” 
Beliau
selalu bersungguh-sungguh dalam beribadah. Senantiasa menyertakan amal
di samping ilmunya. Pada masa bidâyah-nya (permulaannya ) setiap malam
beliau mengunjungi seluruh mesjid di kota Tarim untuk beribadah. Salah
seorang yang tinggal berdampingan dengan mesjid tempat beliau ra biasa
salat mengatakan, “Setiap malam, ketika penduduk kota ini telah lelap
dalam tidurnya, aku selalu mendapati beliau berjalan ke mesjid.” 
Sahabat
beliau menceritakan, “Suatu hari aku berziarah bersama beliau ke makam
Nabiyullôh Hud as. Malam itu seekor kalajengking menyengatku sehingga
aku terjaga semalaman. Aku amati malam itu beliau tidak tidur, asyik
beribadah sepanjang malam. Waktu kutanyakan hal itu, beliau menjawab
bahwa telah tiga puluh tahun lamanya beliau berbuat demikian. 
Meskipun
Habib Abdullah amat gemar beribadah, beliau tidak suka menceritakan
atau memperlihatkan amalnya, kecuali bila keadaan sangat memaksa dan ia
ingin agar amal salehnya itu diteladani. Beliau berkata, “Aku sengaja
tidak memperlihatkan amal ibadahku, meskipun — alhamdulillâh — aku
tidak khawatir terkena riya`. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan oleh
Ash-Shiddîq (Nabi Yusuf as): “Aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena nafsu itu selalu mengajak berbuat kejahatan...” 
Seseorang
pernah menggambarkan kedudukan beliau dalam dunia tasawuf dengan
ungkapan yang indah, yaitu: Dalam dunia tasawuf Imam Al-Ghazali ibarat
pemintal kain, Imam Sya’rani ibarat tukang potong dan Sayid Abdullah
bin Alwi Al-Haddad adalah penjahitnya.” 
Penganut
Madzhab Syafi‘i, khususnya di Yaman, berkeyakinan bahwa Habib Abdullah
Al-Haddad adalah mujaddid (pembaharu) abad 11 H, pendapat ini
difatwakan oleh Ibnu Ziyad, seorang ahli fiqih terkemuka di Yaman yang
fatwa-fatwanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh fiqih seperti Imam Ibnu
Hajar dan Imam Ramli. 
Beliau ra merumuskan
bacaan dzikir yang dinamainya wirid Al-Lathîf. Wirid ini telah tersebar
hampir ke seluruh penjuru Dunia: Mekah, Madinah, Hijaz, Afrika,
Indonesia, Malaysia, Eropa, Amerika dll. Di Indonesia, wirid ini nyaris
menjadi bacaan yang diwajibkan oleh guru-guru pesantren. Tidak sedikit
dari mereka yang enggan beranjak dari tempat duduknya setelah salat
Subuh, sebelum menyelesaikan wirid ini. Wirid ini hampir menjadi bacaan
resmi umat Islam di pagi hari. Wiridnya yang lain, yang juga tak kalah
masyhurnya, adalah Ratib Haddad. 
Demikianlah
Habib Abdullah Al-Haddad menghabiskan umurnya. Beliau menuntut ilmu dan
mengajarkan; berdakwah dan mencontohkan. Sampai akhirnya pada Selasa
sore, 7 Dzulqaidah 1132 H di kota Tarim ini juga, beliau ra kembali
menghadap Yang Kuasa, meninggalkan banyak murid, karya dan nama harum
di dunia. Di kota itu pula, di pemakaman Zanbal, beliau ra dimakamkan.
Semoga Allah memberinya kedudukan yang mulia di sisi-Nya dan memberi
kita manfaat yang banyak dari ilmu-ilmunya.